Sabtu, 05 Januari 2013

Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah

STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
Disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Strategi Pembelajaran
Pengampu : Eko Prasetyo


 









Disusun oleh :


Dede Sri Rahayu                 A.220110057



FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012

BAB 1
Pendahuluan

Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, siswa kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di kelas di arahkan kepada kemampuan untuk anak menghafal informasi.
Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mengembangkan kualitas proses pembelajaran adalah melalui strategi pembelajaran berbasis masalah. Strategi ini dapat menjadi pilihan metodik bagi para guru.
Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah dikembangkan untuk membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir memecahkan masalah, dan keterampilan intelektual. Duch, Allen, dan White (2005) mengungkapkan bahwa pembelajaran berbasis masalah menyediakan kondisi untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan analistis serta memecahkan masalah kompleks dalam kehidupan nyata sehingga akan memunculkan “budaya berpikir” pada diri siswa. Salah satu alternative untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa adalah dengan menggalakkan pertanyaan – pertanyaan yang dapat memacu proses berpikir.
Dilihat dari aspek psikologis belajar, strategi pembelajaran berbasis masalah bersandarkan kepada psikologi kognitif yang bertolak dari asumsi bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman. Belajar bukan semata – mata proses menghafal sejumlah fakta, tetapi suatu proses interaksi secara sadar antara individu dengan lingkungannya. Melalui proses ini sedikit demi sedikit siswa akan berkembang secara utuh. Artinya, perkembangan siswa tidak hanya terjadi pada aspek kognitif , tetapi juga aspek afektif dan psikomotor melalui penghayatan secara internal akan problema yang dihadapi.
Dilihat dari aspek filosofis tentang fungsi sekolah sebagai arena atau wadah untuk mempersiapkan anak didik agar dapat hidup di masyarakat, maka strategi pembelajaran berbasis masalah merupakan strategi yang memungkinkan dan sangat penting untuk dikembangkan. Hal ini karena pada kenyataannya setiap manusia akan selalu dihadapkan kepada masalah. Dari mulai masalah yang sederhana sampai kepada masalah yang kompleks, dari mulai masalah pribadi sampai kepada masalah keluarga, masalah sosial kemasyarakatan, masalah Negara sampai kepada masalah dunia. SPBM ini diharapkan dapat memberikan latihan dan kemampuan setiap individu untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Dilihat dari konteks perbaikan kualitas pendidikan, maka strategi pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu strategi pembelajaran yang dapat digunakan untuk memperbaiki sistem pembelajaran. Kita menyadari selama ini kemampuan siswa untuk dapat menyelesaikan masalah kurang diperhatikan oleh setiap guru. Akibatnya, ketika siswa menghadapi masalah, walaupun masalah itu dianggap sepele, banyak siswa yang tidak dapat meneyelesaikannya dengan baik. Tidak sedikit akhirnya siswa yang mengambil jalan pintas, misalnya dengan menenggak alcohol, mengonsumsi obat - obat terlarang, atau bahkan bunuh diri hanya gara – gara ia tidak sanggup memecahkan masalah.












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Metode Pembelajaran Berbasis Masalah
Sejarah Metode Pembelajaran Berbasis Masalah Pembelajaran Berbasis Masalah dirintis dalam ilmu kesehatan di McMaster University di Kanada pada tahun 1960-an yang diresmikan pada tahun 1968. (Neufeld & Barrows, 1974), karena siswa tidak mampu menerapkan sejumlah besar mereka pengetahuan ilmiah dasar untuk situasi klinis. Tak lama kemudian, tiga sekolah medis lain - University of Limburg di Maastricht (Belanda), University of Newcastle (Australia), dan University of New Mexico (Amerika) mengambil McMaster model pembelajaran berbasis masalah. (diadopsi oleh lain program-program sekolah kedokteran (Barrows, 1996) dan juga telah diadaptasi untuk instruksi sarjana (Boud dan Feletti, 1997; Duch et al, 2001. ; Amador et al, 2006)).
Landasan Teoretik Model Pembelajaran Berbasis Masalah Temuan-temuan dari psikologi kognitif menyediakan landasan teoretis untuk meningkatkan pengajaran secara umum dan khsususnya problem based learning (PBL). Premis dasar dalam psikologi kognitif adalah belajar merupakan proses konstruksi pengetahuan baru yang berdasarkan pada pengetahuan terkini. Mengikuti Glaser (1991) secara umum diasumsikan bahwa belajar adalah proses yang konstruktif dan bukan penerimaan. Proses-proses kognitif yang disebut metakognisi mempengaruhi penggunaan pengetahuan, dan faktor-faktor sosial dan kontektual mempengaruhi pembelajaran.
B.     Pengertian Metode Pembelajaran Berbasis Masalah
Menurut Suherman model pembelajaran dimaksudkan sebagai pola interaksi siswa dengan guru di dalam kelas yang menyangkut strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas.
Konsep yang dikemukakan Suherman menjelaskan bahwa model pembelajaran adalah suatu bentuk bagaimana interaksi yang tercipta antara guru dan siswa berhubungan dengan strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang digunkan dalam proses pembelajaran.
Gijselaers pembelajaran berbasis masalah diturunkan dari teori bahwa belajar adalah proses dimana pembelajar secara aktif mengkontruksi pengetahuan.
Konsep ini menjelaskan bahwa belajar terjadi dari aksi siswa, dan pendidik hanya berperan dalam memfasilitasi terjadinya aktivitas kontruksi pengetahuan oleh pembelajar. Pendidik harus memusatkan perhatiannya untuk membantu siswa dalam mencapai keterampilan self directed learning.
Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah. Muslimin Ibrahim dan Mohamad Nur mendefinisikan pembelajaran berbasis masalah problem based learning sebagai:
Suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar (siswa/mahasiswa) dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar.
Kemudian Nurhayati Abbas berpendapat bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah adalah:
Model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik, sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan inquiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri.
Lebih lanjut Nurhayati Abbas (2000:12) mengemukakan bahwa :
Pendekatan pembelajaran ini mengutamakan proses belajar dimana tugas guru harus memfokuskan diri untuk membantu siswa mencapai keterampilan mengarahkan diri. Pembelajaran berdasarkan masalah penggunaannya di dalam tingkat berpikir lebih tinggi, dalam situasi berorientasi pada masalah, termasuk bagaimana belajar. Guru dalam model pembelajaran berdasarkan masalah berperan sebagai penyaji masalah, penanya, mengadakan dialog, membantu menemukan masalah, dan pemberi fasilitas penelitian. Selain itu guru menyiapkan dukungan dan dorongan yang dapat meningkatkan pertumbuhan inquiri dan intelektual siswa.

Pembelajaran berdasarkan masalah hanya dapat terjadi jika guru dapat menciptakan lingkungan kelas yang terbuka dan membimbing pertukaran gagasan. Pembelajaran berdasarkan masalah juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan aktivitas belajar siswa, baik secara individual maupun secara kelompok. Di sini guru berperan sebagai pemberi rangsangan, pembimbing kegiatan siswa, dan penentu arah belajar siswa.
Tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis masalah dimulai oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh siswa atau guru), kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memecahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu yang harus dipelajari siswa untuk melatih dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan menyelesaikan masalah, serta mendapatkan pengetahuan konsep-konsep penting.
John Dewey (Muslimin Ibrahim dan Mohamad Nur, 2002:16) menganjurkan guru untuk mendorong siswa terlibat dalam proyek atas tugas berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki masalah-masalah intelektual. Lebih lanjut, Lev Vygotsky (Muslimin Ibrahim dan Mohamad Nur, 2002:18) mengemukakan bahwa “perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru yang menantang dan ketika mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalamannya sendiri”. Dia juga menambahkan bahwa interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa.
Pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Pembelajaran berbasis masalah antara lain bertujuan untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan pemecahan masalah (Ismail, 2002:2).
Dalam pembelajaran berbasis masalah, perhatian pembelajaran tidak hanya pada perolehan pengetahuan deklaratif, tetapi juga perolehan pengetahuan prosedural. Oleh karena itu penilaian tidak cukup hanya dengan tes. Penilaian dan evaluasi yang sesuai dengan model pembelajaran berbasis masalah adalah menilai pekerjaan yang dihasilkan oleh siswa sebagai hasil penyelidikan mereka. Penilaian proses dapat digunakan untuk menilai pekerjaan siswa tersebut, penilaian itu antara lain asesmen kenerja, asesmen autentik dan portofolio. Penilaian proses bertujuan agar guru dapat melihat bagaimana siswa merencanakan pemecahan masalah melihat bagaimana siswa menunjukkan pengetahuan dan keterampilan. Karena kebanyakan problema dalam kehidupan nyata bersifat dinamis sesuai perkembangan jaman dan konteks/lingkungannya, maka perlu dikembangkan model pembelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif mengembangkan kemampuannya untuk belajar. Dengan kemampuan atau kecakapan tersebut diharapkan siswa akan mudah beradaptasi.
C.     Tujuan Metode Pembelajaran Berbasis Masalah
1.      Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2003).
Pembelajaran berbasis masalah membuat siswa menjadi pembelajar yang mandiri, artinya ketika siswa belajar, maka siswa dapat memilih strategi belajar yang sesuai, terampil menggunakan strategi tersebut untuk belajar dan mampu mengontrol proses belajarnya, serta termotivasi untuk menyelesaikan belajarnya itu.

Dari pengertian ini, dikatakan bahwa tujuan utama pembelajaran berbasis masalah adalah untuk menggali daya kreativitas siswa dalam berpikir dan memotivasi siswa untuk terus belajar..
Dari definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) bertujuan untuk:
1. membantu siswa mengembangkan ketrampilan berfikir dan ketrampilan pemecahan masalah,
2. belajar peranan orang dewasa yang otentik,
3. menjadi siswa yang mandiri,
4. untuk bergerak pada level pemahaman yang lebih umum, membuat kemungkinan    transfers pengetahuan baru,
5. mengembangkan pemikiran kritis dan keterampilan kreatif
6. meningkatkan kemampuan memecahkan masalah
7. meningkatkan motivasi belajar siswa
8. membantu siswa belajar untuk mentransfer pengetahuan dengan situasi baru

            D.    Prinsip-Prinsip Metode Pembelajaran Berbasis Masalah
Berdasarkan pada pandangan psikologi kognitif terdapat tiga prinsip pembelajaran yang berkaitan dengan PBL :
1.       Belajar adalah proses konstruktif dan bukan penerimaan.
Pembelajaran tradisional didominasi oleh pandangan bahwa belajar adalah penuangan pengetahuan ke kepala pebelajar. Kepala pebelajar dipandang sebagai kotak kosong yang siap diisi melalui repetisi dan penerimaan. Pengajaran lebih diarahkan untuk penyimpanan informasi oleh pebelajar pada memorinya seperti menyimpan buku-buku di perpustakaan. Pemanggilan kembali informasi bergantung pada kualitas nomer panggil(call number) yang digunakan dalam mengklasifikasikan informasi. Namun, psikologi kognitif modern menyatakan bahwa memori merupakan struktur asosiatif. Pengetahuan disusun dalam jaringan antar konsep, mengacu pada jalinan semantik. Ketika belajar terjadi informasi baru digandengkan pada jaringan informasi yang telah ada. Jalinan semantik tidak hanya menyangkut bagaimana menyimpan informasi, tetapi juga bagaimana informasi itu diinterpretasikan dan dipanggil.

2.  Knowing About Knowing (metakognisi) Mempengaruhi Pembelajaran
Prinsip kedua yang sangat penting adalah belajar adalah proses cepat, bila pebelajar mengajukan keterampilan-keterampilan self monitoring, secara umum mengacu pada metakognisi (Bruer, 1993 dalam Gijselaers, 1996). Metakognisi dipandang sebagai elemen esensial keterampilan belajar seperti setting tujuan (what am I going to do), strategi seleksi (how am I doing it?), dan evaluasi tujuan (did it work?). Keberhasilan pemecahan masalah tidak hanya bergantung pada pemilikan pengetahuan konten (body of knowledge), tetapi juga penggunaan metode pemecahan masalah untuk mencapai tujuan. Secara khusus keterampilan metokognitif meliputi kemampuan memonitor prilaku belajar diri sendiri, yakni menyadari bagaimana suatu masalah dianalisis dan apakah hasil pemecahan masalah masuk akal?

3. Faktor-faktor Kontekstual dan Sosial Mempengaruhi Pembelajaran.
Prinsip ketiga ini adalah tentang penggunaan pengetahuan. Mengarahkan pebelajar untuk memiliki pengetahuan dan untuk mampu menerapkan proses pemecahan masalah merupakan tujuan yang sangat ambisius. Pembelajaran biasanya dimulai dengan penyampaian pengetahuan oleh pembelajar kepada pebelajar, kemudian disertai dengan pemberian tugas-tugas berupa masalah untuk meningkatkan penggunaan pengetahuan. Namun studi-studi menunjukkan bahwa pebelajar mengalami kesulitan serius dalam menggunakan pengetahuan ilmiah (Bruning et al, 1995). Studi juga menunjukkan bahwa pendidikantradisional tidak memfasilitasi peningkatan peman masalah-maslah fisika walaupun secara formal diajarkan teori fisika ( misalnya, Clement, 1990).

Kriteria pemilihan bahan Pembelajaran Berbasis Masalah adalah :
1. Bahan pelajaran harus mengandung isu-isu yang mengandung konflik
2. Bahan yang dipilih adalah bahan yang bersifat familiar dengan siswa
3. Bahan yang dipilih merupakan bahan yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak
4. Bahan yang dipilih adalah bahan yang mendukung tujuan atau kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa
5. Bahan yang dipilih sesuai dengan minat siswa

Langkah- langkah model Pembelajaran Berdasarkan Masalah, yaitu :
1. Orientasi siswa kepada masalah
2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar
3. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Pelaksanaan Pembelajaran Bedasarkan Masalah adalah sebagai berikut:
A. Tugas Perencanaan.
1. Penetapan Tujuan.
2. Merancang situasi masalah yang sesuai.
3. Organisasi sumber daya dan rencana logistik.
B. Tugas interaktif
1. Orientasi siswa pada masalah.
2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar.
3. Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok.
4. Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah.

Arends (2004) menyatakan bahwa ada tiga hasil belajar (outcomes) yang diperoleh pelajar yang diajar dengan Pembelajaran Berbasis Masalah, yaitu:
1. Inkuiri dan ketrampilan melakukan pemecahan masalah.
2. Belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan
3. Ketrampilan belajar mandiri (skills for independent learning).

Kelebihan Pembelajaran Berbasis Masalah dalam pemanfaatannya adalah sebagai berikut:
1.Mengembangkan pemikiran kritis dan keterampilan kreatif dan mandiri
2. Meningkatkan motivasi dan kemampuan memecahkan masalah
3. Membantu siswa belajar untuk mentransfer pengetahuan dengan situasi baru
4. Dengan PBM akan terjadi pembelajaran bermakna.
5. Dalam situasi PBM, siswa/mahasiswa mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan.
6. PBM dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa/mahasiswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.

Kekurangan Pembelajaran Berbasis Masalah dalam pemanfaatannya adalah sebagai berikut:
1.       Kurangnya waktu pembelajaran.
2.      Siswa tidak dapat benar-benar tahu apa yang mungkin penting bagi mereka untuk belajar.
3.      Seorang guru sulit menjadi fasilitator yang baik.
4.      Ketika siswa tidak memiliki minat dan kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit dipecahkan mereka akan merasa enggan untuk mencoba
5.      Keberhasilan pembelajaran melalui problem solving membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.
6.      Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar